|
|
Oct 18, '07 10:54 AM
untuk semuanya
|
Dibawah ini ringkasan dari Novel
setebal 111 halaman. Kalau berminat baca Buku-buku lainnya dari
Habiburrahman El Shirazi (Kang Abik) :
Di Atas Sajadah Cinta
Ayat-ayat Cinta ( baca disini
)
Ketika Cinta Bertasbih
Ketika Cinta Berbuah Surga
Nyanyian Cinta
Ketika Derita Mengabadikan Cinta
Pudarnya Pesona
Cleopatra
Karya : Habiburrahman El Shirazy
(Lihat Novelnya di Attachment
File dibawah. Red)
Dengan panjang lebar ibu
menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalam kandungan aku telah dijodohkan
dengan Raihana yang tak pernah kukenal.” Ibunya Raihana adalah teman karib
ibu waktu nyantri di pesantren Mangkuyudan Solo dulu” kata ibu. “Kami
pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan besanan untuk
memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon keikhlasanmu”, ucap
beliau dengan nada mengiba.
Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku
menuruti keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi
mentari pagi dihatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan diriku.
Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun
sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu
saja dan tidak tahu alasannya. Yang jelas aku sudah punya kriteria dan
impian tersendiri untuk calon istriku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa
terhadapan dengan air mata ibu yang amat kucintai. Saat khitbah (lamaran)
sekilas kutatap wajah Raihana, benar kata Aida adikku, ia memang baby face
dan anggun. Namun garis-garis kecantikan yang kuinginkan tak kutemukan sama
sekali. Adikku, tante Lia mengakui Raihana cantik, “cantiknya alami, bisa
jadi bintang iklan Lux lho, asli ! kata tante Lia. Tapi penilaianku lain,
mungkin karena aku begitu hanyut dengan gadis-gadis Mesir titisan
Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita, dengan hidung
melengkung indah, mata bulat bening khas arab, dan bibir yang merah. Di
hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit
cintaku untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia. Aku ingin
memberontak pada ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku. Hari pernikahan
datang. Duduk dipelaminan bagai mayat hidup, hati hampa tanpa cinta,
Pestapun meriah dengan empat group rebana. Lantunan shalawat Nabipun terasa
menusuk-nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tetapi hatiku terasa
teriris-iris dan jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku adalah mendapat
berkah dari Allah SWT atas baktiku pada ibuku yang kucintai. Rabbighfir li
wa liwalidayya! Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan
cinta, hanya sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca
ayat-ayatNya. Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku
dan kepura-puraanku. Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan dipinggir
kota Malang. Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah.
Betapa susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat
bersama dengan makhluk yang bernama Raihana, istriku, tapi Masya Allah
bibit cintaku belum juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar,
wajahnya yang teduh tetap terasa asing. Memasuki bulan keempat, rasa muak
hidup bersama Raihana mulai kurasakan, rasa ini muncul begitu saja. Aku
mencoba membuang jauh-jauh rasa tidak baik ini, apalagi pada istri sendiri
yang seharusnya kusayang dan kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain. Aku
lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di
ruang tamu atau ruang kerja.Aku merasa hidupku adalah sia-sia, belajar di
luar negeri sia-sia, pernikahanku sia-sia, keberadaanku sia-sia. Tidak
hanya aku yang tersiksa, Raihanapun merasakan hal yang sama, karena ia
orang yang berpendidikan, maka diapun tanya, tetapi kujawab ” tidak apa-apa
koq mbak, mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus belajar berumah
tangga” Ada kekagetan yang kutangkap diwajah Raihana ketika kupanggil
‘mbak’, ” kenapa mas memanggilku mbak, aku kan istrimu, apa mas sudah tidak
mencintaiku” tanyanya dengan guratan wajah yang sedih. “wallahu a’lam”
jawabku sekenanya. Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam menunduk, tak lama
kemudian dia terisak-isak sambil memeluk kakiku, “Kalau mas tidak
mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri kenapa mas ucapkan akad nikah?
Kalau dalam tingkahku melayani mas masih ada yang kurang berkenan, kenapa
mas tidak bilang dan menegurnya, kenapa mas diam saja, aku harus bersikap
bagaimana untuk membahagiakan mas, kumohon bukalah sedikit hatimu untuk
menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku didunia ini”.
Raihana mengiba penuh pasrah. Aku menangis menitikan air mata buka karena
Raihana tetapi karena kepatunganku. Hari terus berjalan, tetapi komunikasi
kami tidak berjalan. Kami hidup seperti orang asing tetapi Raihana tetap
melayaniku menyiapkan segalanya untukku. Suatu sore aku pulang mengajar dan
kehujanan, sampai dirumah habis maghrib, bibirku pucat, perutku belum
kemasukkan apa-apa kecuali segelas kopi buatan Raihana tadi pagi, Memang
aku berangkat pagi karena ada janji dengan teman. Raihana memandangiku
dengan khawatir. “Mas tidak apa-apa” tanyanya dengan perasaan kuatir. “Mas
mandi dengan air panas saja, aku sedang menggodoknya, lima menit lagi
mendidih” lanjutnya. Aku melepas semua pakaian yang basah. “Mas airnya
sudah siap” kata Raihana. Aku tak bicara sepatah katapun, aku langsung ke
kamar mandi, aku lupa membawa handuk, tetapi Raihana telah berdiri didepan
pintu membawa handuk. “Mas aku buatkan wedang jahe” Aku diam
saja. Aku merasa mulas dan mual dalam perutku tak bisa kutahan. Dengan
cepat aku berlari ke kamar mandi dan Raihana mengejarku dan memijit-mijit
pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu. ” Mas masuk angin.
Biasanya kalau masuk angin diobati pakai apa, pakai balsam, minyak putih,
atau jamu?” tanya Raihana sambil menuntunku ke kamar. “Mas jangan diam saja
dong, aku kan tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk membantu Mas”. ”
Biasanya dikerokin” jawabku lirih. “Kalau begitu kaos mas dilepas ya, biar
Hana kerokin” sahut Raihana sambil tangannya melepas kaosku. Aku seperti
anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana dengan sabar mengerokin punggungku
dengan sentuhan tangannya yang halus. Setelah selesai dikerokin, Raihana
membawakanku semangkok bubur kacang hijau. Setelah itu aku merebahkan diri
di tempat tidur. Kulihat Raihana duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur
sambil menghafal AlQuran dengan khusyu. Aku kembali sedih dan ingin
menangis, Raihana manis tapi tak semanis gadis-gadis mesir titisan
Cleopatra. Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku
untuk makan malam di istananya.” Aku punya keponakan namanya Mona Zaki,
nanti akan aku perkenalkan denganmu” kata Ratu Cleopatra. ” Dia memintaku
untuk mencarikannya seorang pangeran, aku melihatmu cocok dan berniat
memperkenalkannya denganmu”. Aku mempersiapkan segalanya. Tepat puku 07.00
aku datang ke istana, kulihat Mona Zaki dengan pakaian pengantinnya, cantik
sekali. Sang ratu mempersilakan aku duduk di kursi yang berhias berlian.
Aku melangkah maju, belum sempat duduk, tiba-tiba ” Mas, bangun, sudah jam
setengah empat, mas belum sholat Isya” kata Raihana membangunkanku. Aku
terbangun dengan perasaan kecewa. “Maafkan aku Mas, membuat Mas kurang
suka, tetapi Mas belum sholat Isya” lirih Hana sambil melepas mukenanya,
mungkin dia baru selesai sholat malam. Meskipun cuman mimpi tapi itu indah
sekali, tapi sayang terputus. Aku jadi semakin tidak suka sama dia, dialah
pemutus harapanku dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia bersalah, bukankah dia
berbuat baik membangunkanku untuk sholat Isya. Selanjutnya aku merasa sulit
hidup bersama Raihana, aku tidak tahu dari mana sulitnya. Rasa tidak suka
semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar terpenjara dalam suasana konyol. Aku
belum bisa menyukai Raihana. Aku sendiri belum pernah jatuh cinta, entah
kenapa bisa dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra.
” Mas, nanti sore ada acara qiqah di rumah Yu Imah. Semua keluarga akan
datang termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang bareng,
tidak enak kalau kita yang dieluk-elukan keluarga tidak datang”
Suara lembut Raihana menyadarkan pengembaraanku pada Jaman Ibnu Hazm.
Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi onde-onde kesukaanku dan segelas
wedang jahe. Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja. ”
Maaf jika mengganggu Mas, maafkan Hana,” lirihnya, lalu perlahan-lahan
beranjak meninggalkan aku di ruang kerja. ” Mbak! Eh maaf, maksudku
D..Dinda Hana!, panggilku dengan suara parau tercekak dalam tenggorokan. ”
Ya Mas!” sahut Hana langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan
menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha untuk tersenyum, agaknya ia
bahagia dipanggil “dinda”. ” Matanya sedikit berbinar. “¦terima kasih
dinda, kita berangkat bareng kesana, habis sholat dhuhur, insya Allah,”
ucapku sambil menatap wajah Hana dengan senyum yang kupaksakan. Raihana
menatapku dengan wajah sangat cerah, ada secercah senyum bersinar
dibibirnya. ” Terima kasih Mas, Ibu kita pasti senang, mau pakai baju yang
mana Mas, biar dinda siapkan? Atau biar dinda saja yang memilihkan ya?”.
Hana begitu bahagia. Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap
sabar mencurahkan bakti meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya
selama ini. Aku belum pernah melihatnya memasang wajah masam atau tidak
suka padaku. Kalau wajah sedihnya ya. Tapi wajah tidak sukanya belum pernah.
Bah, lelaki macam apa aku ini, kutukku pada diriku sendiri. Aku memaki-maki
diriku sendiri atas sikap dinginku selama ini., Tapi, setetes embun cinta
yang kuharapkan membasahi hatiku tak juga turun. Kecantikan aura titisan
Cleopatra itu? Bagaimana aku mengusirnya. Aku merasa menjadi orang yang
paling membenci diriku sendiri di dunia ini. Acara pengajian dan qiqah
putra ketiga Fatimah kakak sulung Raihana membawa sejarah baru lembaran
pernikahan kami. Benar dugaan Raihana, kami dielu-elukan keluarga, disambut
hangat, penuh cinta, dan penuh bangga.
“Selamat datang pengantin baru! Selamat datang pasangan yang paling ideal
dalam keluarga! Sambut Yu Imah disambut tepuk tangan bahagia mertua dan
ibundaku serta kerabat yang lain. Wajah Raihana cerah. Matanya berbinar-binar
bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku menangis disebut pasangan ideal.
Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana lulusan
terbaik dikampusnya dan hafal Al Quran lantas disebut ideal?
Ideal bagiku adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa
cinta yang sampai pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta yang tidak
lagi memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang dari detik ke detik
meneteskan rasa bahagia. Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti
yang dimiliki Raihana. Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat.
Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana yang begitu kuat menjaga kewibawaanku
di mata keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali
menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami yang dicintainya. Bahkan ia
mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku sendiri dibuat pusing
dengan sikapku. Lebih pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang menyindir
tentang keturunan. ” Sudah satu tahun putra sulungku menikah, koq belum ada
tanda-tandanya ya, padahal aku ingin sekali menimang cucu” kata ibuku.
“Insya Allah tak lama lagi, ibu akan menimang cucu, doakanlah kami.
Bukankah begitu, Mas?” sahut Raihana sambil menyikut lenganku, aku tergagap
dan mengangguk sekenanya. Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap
bersahabat dengan Raihana. Aku berpura-pura kembali mesra dengannya,
sebagai suami betulan. Jujur, aku hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar
cinta, dan bukan kehendakku sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku.
Allah Maha Kuasa. Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai seorang istri.
Raihana hamil. Ia semakin manis. Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku
menangis karena cinta tak kunjung tiba. Tuhan kasihanilah hamba,
datangkanlah cinta itu segera. Sejak itu aku semakin sedih sehingga Raihana
yang sedang hamil tidak kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku bertanya”
Mana tanggung jawabmu!” Aku hanya diam dan mendesah sedih. ”
Entahlah, betapa sulit aku menemukan cinta” gumamku. Dan akhirnya datanglah
hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan ke enam. Raihana minta ijin
untuk tinggal bersama orang tuanya dengan alasan kesehatan. Kukabulkan
permintaanya dan kuantarkan dia kerumahnya. Karena rumah mertua jauh dari
kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak menaruh curiga ketika aku harus
tetap tinggal dikontrakan. Ketika aku pamitan, Raihana berpesan, ” Mas
untuk menambah biaya kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku
yang ada di ATM. Aku taruh dibawah bantal, no pinnya sama dengan tanggal
pernikahan kita”. Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega.
Setiap hari Aku tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa
sebabnya bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan
segalanya. Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat
kuliah di Mesir. Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana.
Suatu saat aku pulang kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa
tubuhku benar-benar lemas. Aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan
perut mual. Saat itu terlintas dihati andaikan ada Raihana, dia pasti telah
menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati masuk angin
dengan mengeroki punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan menutupi tubuhku
dengan selimut. Malam itu aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku
terbangun jam enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati,
aku belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa,
andaikan ada Raihana tentu aku ngak meninggalkan sholat Isya, dan tidak
terlambat sholat subuh. Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan
mengajar di kampus. Apalagi aku mendapat tugas dari universitas untuk
mengikuti pelatihan mutu dosen mata kuliah bahasa arab. Diantaranya
tutornya adalah professor bahasa arab dari Mesir. Aku jadi
banyak berbincang dengan beliau tentang Mesir.
Dalam pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen
bahasa arab dari Medan. Dia menempuh S1-nya di Mesir. Dia menceritakan satu
pengalaman hidup yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani. “Apakah kamu
sudah menikah?” kata Pak Qalyubi. “Alhamdulillah, sudah” jawabku. ” Dengan
orang mana?. ” Orang Jawa”. ” Pasti orang yang baik ya. Iya kan? Biasanya
pulang dari Mesir banyak saudara yang menawarkan untuk menikah dengan perempuan
shalehah. Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari
pesantren?”. “Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran”. “Kau
sangat beruntung, tidak sepertiku”. ” Kenapa dengan Bapak?” ” Aku melakukan
langkah yang salah, seandainya aku tidak menikah dengan orang Mesir itu,
tentu batinku tidak merana seperti sekarang”. ” Bagaimana itu bisa
terjadi?”. ” Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-cantik, dan karena
terpesona dengan kecantikanya saya menderita seperti ini. Ceritanya begini,
Saya seorang anak tunggal dari seorang yang kaya, saya berangkat ke Mesir
dengan biaya orang tua. Disana saya bersama kakak kelas namanya Fadhil,
orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya waktu, tahun pertama saya
lulus dengan predikat jayyid, predikat yang cukup sulit bagi pelajar dari
Indonesia. Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan
rumah tempat saya tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak
gadisnya yang bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan
pertama saya jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis secantik itu.
Saya bersumpah tidak akan menikah dengan siapapun kecuali dia. Ternyata
perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya didengar oleh
Fadhil. Fadhil membuat garis tegas, akhiri hubungan dengan anak tuan rumah
itu atau sekalian lanjutkan dengan menikahinya. Saya memilih yang kedua.
Ketika saya menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan
begini, sama-sama menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari
mahasiswi Al Azhar yang hafal Al Quran, salehah, dan berjilbab. Itu lebih
selamat dari pada dengan Yasmin yang awam pengetahuan agamanya. Tetapi saya
tetap teguh untuk menikahinya. Dengan biaya yang tinggi saya berhasil
menikahi Yasmin. Yasmin menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis
Mesir. Perabot rumah yang mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu
selesai S1 saya kembali ke Medan, saya minta agar asset yang di Mesir
dijual untuk modal di Indonesia. Kami langsung membeli rumah yang cukup
mewah di kota Medan. Tahun-tahun pertama hidup kami berjalan baik, setiap
tahunnya Yasmin mengajak ke Mesir menengok orang tuanya. Aku masih bisa
memenuhi semua yang diinginkan Yasmin. Hidup terus berjalan, biaya hidup
semakin nambah, anak kami yang ketiga lahir, tetapi pemasukan tidak
bertambah. Saya minta Yasmin untuk berhemat.
Tidak setiap tahun tetapi tiga tahun sekali Yasmin tidak bisa. Aku
mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak terpenuhi. Sawah
terakhir milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam diri saya mulai muncul
penyesalan. Setiap kali saya melihat teman-teman alumni Mesir yang hidup
dengan tenang dan damai dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu dan bisa
berdakwah dengan baik. Dicintai masyarakat. Saya tidak mendapatkan apa yang
mereka dapatkan. Jika saya pengin rending, saya harus ke warung. Yasmin
tidak mau tahu dengan masakan Indonesia. Kau tahu sendiri, gadis Mesir
biasanya memanggil suaminya dengan namanya. Jika ada sedikit letupan, maka
rumah seperti neraka. Puncak penderitaan saya dimulai setahun yang lalu.
Usaha saya bangkrut, saya minta YAsmin untuk menjual perhiasannya, tetapi
dia tidak mau. Dia malah membandingkan dirinya yang hidup serba kurang
dengan sepupunya. Sepupunya mendapat suami orang Mesir. Saya menyesal
meletakkan kecantikan diatas segalanya. Saya telah diperbudak dengan
kecantikannya. Mengetahui keadaan saya yang terjepit, ayah dan ibu
mengalah.
Mereka menjual rumah dan tanah, yang akhirnya mereka tinggal di ruko yang
kecil dan sempit. Batin saya menangis. Mereka berharap modal itu cukup
untuk merintis bisnis saya yang bangkrut. Bisnis saya mulai bangkit, Yasmin
mulai berulah, dia mengajak ke Mesir. Waktu di Mesir itulah puncak tragedy
yang menyakitkan. ” Aku menyesal menikah dengan orang Indonesia, aku minta
kau ceraikan aku, aku tidak bisa bahagia kecuali dengan lelaki Mesir”. Kata
Yasmin yang bagaikan geledek menyambar. Lalu tanpa dosa dia bercerita bahwa
tadi di KBRI dia bertemu dengan temannya. Teman lamanya itu sudah jadi
bisnisman, dan istrinya sudah meninggal. Yasmin diajak makan siang, dan
dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku pukul dia karena tak bisa menahan
diri. Atas tindakan itu saya dilaporkan ke polisi. Yang menyakitkan adalah
tak satupun keluarganya yang membelaku. Rupanya selama ini Yasmin sering
mengirim surat yang berisi berita bohong. Sejak saat itu saya mengalami
depresi. Dua bulan yang lalu saya mendapat surat cerai dari Mesir sekaligus
mendapat salinan surat nikah Yasmin dengann temannya. Hati saya sangat
sakit, ketika si sulung menggigau meminta ibunya pulang”. Mendengar cerita
Pak Qulyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan hidupnya menyadarkanku. Aku
teringat Raihana. Perlahan wajahnya terbayang dimataku, tak terasa sudah
dua bualn aku berpisah dengannya. Tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap
dihati. Dia istri yang sangat shalehah. Tidak pernah meminta apapun. Bahkan
yang keluar adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemurahan Allah
aku mendapatkan istri seperti dia. Meskipun hatiku belum terbuka lebar,
tetapi wajah Raihana telah menyala didindingnya. Apa yang sedang dilakukan
Raihana sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah delapan bulan. Sebentar
lagi melahirkan. Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin agar aku mencairkan
tabungannya. Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke took baju muslim,
aku ingin membelikannya untuk Raihana, juga daster, dan pakaian bayi.
Aku ingin memberikan kejutan, agar dia tersenyum menyambut
kedatanganku. Aku tidak langsung ke rumah mertua, tetapi ke kontrakan
untuk mengambil uang tabungan, yang disimpan dibawah bantal. Dibawah kasur
itu kutemukan kertas merah jambu. Hatiku berdesir, darahku terkesiap. Surat
cinta siapa ini, rasanya aku belum pernah membuat surat cinta untuk
istriku. Jangan-jangan ini surat cinta istriku dengan lelaki lain. Gila!
Jangan-jangan istriku serong. Dengan rasa takut kubaca surat itu satu
persatu. Dan Rabbi ternyata surat-surat itu adalah ungkapan hati Raihana
yang selama ini aku zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian mencintaiku,
meredam rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri untuk menahan nestapa
dan derita yang luar biasa. Hanya Allah lah tempat ia meratap melabuhkan
dukanya. Dan ya .. Allah, ia tetap setia memanjatkan doa untuk kebaikan
suaminya. Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku. “Rabbi dengan
penuh kesyukuran, hamba bersimpuh dihadapan-Mu. Lakal hamdu ya Rabb. Telah
muliakan hamba dengan Al Quran. Kalaulah bukan karena karunia-Mu yang agung
ini, niscaya hamba sudah terperosok kedalam jurang kenistaan. Ya Rabbi,
curahkan tambahan kesabaran dalam diri hamba” tulis Raihana. Dalam akhir
tulisannya Raihana berdoa” Ya Allah inilah hamba-Mu yang kerdil penuh noda
dan dosa kembali datang mengetuk pintumu, melabuhkan derita jiwa ini
kehadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan ini hamba-Mu ini hamil penuh
derita dan kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami hamba tak
mempedulikanku dan menelantarkanku. Masih kurang apa rasa cinta hamba
padanya. Masih kurang apa kesetiaanku padanya. Masih kurang apa baktiku
padanya? Ya Allah, jika memang masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada
hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada suamiku. Ya Allah,
dengan rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia karena kelalaiannya. Cukup
hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta hamba masih
tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk tetap berbakti
dan memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha Tahu bahwa hamba sangat
mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya dengan
cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu
ini. Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau”. Tak
terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang luar
biasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan Raihana terbayang.
Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan dan pengabdiannya yang tiada
putusnya, suaranya yang lembut, tanganya yang halus bersimpuh memeluk
kakiku, semuanya terbayang mengalirkan perasaan haru dan cinta. Dalam
keharuan terasa ada angina sejuk yang turun dari langit dan merasuk dalam
jiwaku. Seketika itu pesona Cleopatra telah memudar berganti cinta Raihana
yang datang di hati. Rasa sayang dan cinta pada Raihan tiba-tiba begitu
kuat mengakar dalam hatiku. Cahaya Raihana terus berkilat-kilat dimata. Aku
tiba-tiba begitu merindukannya. Segera kukejar waktu untuk membagi cintaku
dengan Raihana. Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air
mataku yang menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua,
nyaris tangisku meledak. Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap air
mataku. Melihat kedatanganku, ibu mertuaku memelukku dan menangis
tersedu-sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis. ” Mana Raihana Bu?”. Ibu
mertua hanya menangis dan menangis. Aku terus bertanya apa sebenarnya yang
telah terjadi. ” Raihana istrimu..istrimu dan anakmu yang dikandungnya”. ”
Ada apa dengan dia”. ” Dia telah tiada”. ” Ibu berkata apa!”. ” Istrimu
telah meninggal seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar mandi. Kami
membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat. Sebelum
meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala kekurangan dan
kekhilafannya selama menyertaimu. Dia meminta maaf karena tidak bisa
membuatmu bahagia. Dia meminta maaf telah dengan tidak sengaja membuatmu
menderita. Dia minta kau meridhionya”.
Hatiku bergetar hebat. ” Kenapa ibu tidak memberi kabar padaku?”. “ Ketika
Raihana dibawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang untuk
menjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada. Dihubungi ke kampus
katanya kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin mengganggumu. Apalagi
Raihana berpesan agar kami tidak mengganggu ketenanganmu selama
pelatihan. Dan ketika Raihana meninggal kami sangat sedih, Jadi maafkanlah
kami”. Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku
merasakan cinta Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus dosaku,
dia telah meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya dia telah tiada.
Dia telah meninggalkan aku tanpa memberi kesempatan padaku untuk sekedar
minta maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah menghukumku dengan penyesalan
dan perasaan bersalah tiada terkira. Ibu mertua mengajakku ke sebuah
gundukan tanah yang masih baru dikuburan pinggir desa. Diatas gundukan itu
ada dua buah batu nisan. Nama dan hari wafat Raihana tertulis disana. Aku
tak kuat menahan rasa cinta, haru, rindu dan penyesalan yang luar biasa.
Aku ingin Raihana hidup kembali. Dunia tiba-tiba gelap semua.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar